QUO VADIS PEMBERIAN HAK RESTITUSI BAGI PEREMPUAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG, ANTARA ATURAN DAN REALITA.
Main Article Content
Abstract
Kejahatan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yangbertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan. Itulah sebabnya perbuatan kejahatan terhadap perempuan merupakan salah satu perbuatan yang melanggar HAM sehingga diibutuhkan suatu instrumen hukum nasional tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk didalamnya kejahatan perdagangan perempuan (women trafficking). Kebijakan hukum pidana dalam melindungi hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang terdapat dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang memberi landasan hukum materiil dan formil. Hanya saja penulis ingin menelaah lebih mendalam dengan menggunakan metodelogi penelitian hukum normatif tentang sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap perempuan korban tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dalam hal pemberian restitusi, dan kendala apa yang kemudian menjadi halangan terhadap pemberian hak restitusi bagi perempuan korban perdagangan orang (women trafficking). Dari hasil penelusuran didapatlah jawaban bahwa penerapan pasal demi pasal dalam undang-undang No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tersebut terbantahkan dengan sendirinya, karena kurang memberikan kepastian hukum dan kekuatan mengikat pada pengimplementasinya. Ketentuan pasal 50 ayat (4) UUPTPPO menjadikan gugurnya hak perempuan korban untuk mendapatlan restitusi. Kurangnya peraturan-peraturan internal dari masing-masing instansi penegak hukum tentang petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana mengenai bagaimana petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana pengajuan restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang juga menjadi kendala terhadap pemberian hak restitusi pada perempuan korban perdagangan orang. Terdapat pula kendala diluar penerapan undang-undang, yaitu faktor pada sumber daya manusia penegak hukum , faktor pada kesadaran hukum korban. Harus ada tindakan Konkret untuk menanggulangi kejahatan perdaganagn manusia, terutama ketika perempuan yang menjadi korban. Pasal 50 ayat (4) perlu direvisi karena dirasa kurang efektif dan menimbulkan permasalahan dalam penerapan restitusi dan perlu ada aturan acara tersendiri berkenaan tentang mekanisme pemberian restitusi bagi korban.
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.