PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA/TERDAKWA TERORISMEDALAMSISTEM PERADILANPIDANAINDONESIA DALAM PERSPEKTIF PELAKU
Isi Artikel Utama
Abstrak
Abstrak
Perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam perspektif pelaku belum menganut prinsip keseimbangan antara teori Crime control model dan teori due process model yang disesuaikan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Ditengah sulitnya mencari bukti-bukti dan pengejaran terhadap tersangka, polisi memiliki alternatif lain dalam mencari kebenaran. Yaitu pengakuan tersangka yang sudah tertangkap. Tersangka suatu kasus kriminal, kecil kemungkinan mengungkapkan apa yang telah dilakukan atau apayangdirencanakankelompoknya. Untuk mendapatkan pengakuan tersangka, banyak cara yang bisa dilakukan oleh penyidik. Antara lain melalui paksaan, ancaman bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan kekerasan fisik atau penyiksaan, tetapi kita tidak boleh lepas dari asas yang dianut di Indonesia mengenai asas Praduga Tak Bersalah, dan terhadap pelaku Terorisme pun, asas ini juga harus diterapkan, tetapi tetap bahwa kita mengedepankan asas Lex Spesialeis Derogat Lex Generale. Dalam sistemperadilan pidana di Indonesia, mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses yang disebut sebagai Kriminal Justice Process yang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan. Implementasi hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia sudah mengatur mengenai hak tersangka dan terdakwa, dan juga dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah, namun demikian belum secara jelas dan lengkap menjamin proses kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap perlindungan hak tersangka/terdakwa yang diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Sistem Peradilan Pidana, Terorisme.
Abstract
The protection of the human rights of suspects/defendants in the Indonesian criminal justice system in the perspective of the perpetrators has not adhered to the principle of balance between the theory of Crime control model and the theory of the due process model which is adapted to Pancasila as the basis of the state and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). In the midst of the difficulty of finding evidence and the pursuit of the suspect, the police have another alternative in seeking the truth. Namely the confession of the suspect who has been arrested. A suspect in a criminal case is unlikely to reveal what has been done or what the group is planning. To get the confession of a suspect, there are many ways that can be done by investigators. Among other things, through coercion, even threats that end in physical violence or torture, but we must not be separated from the principles adopted in Indonesia regarding the principle of the Presumption of Guilt, and against the perpetrators of terrorism, this principle must also be applied, but still that we put forward the principle of Lex Specialeis Derogat Lex Generale. In the criminal justice system in Indonesia, the criminal justice mechanism is a process called the Criminal Justice Process which starts from investigation, arrest, search, detention, prosecution. The implementation of human rights in the Indonesian criminal justice system has regulated the rights of suspects and defendants, and also by prioritizing the principle of the presumption of innocence, however, it has not clearly and completely guaranteed the process of compensation, restitution, and rehabilitation for the protection of the rights of suspects/accused persons suspected of being perpetrators of terrorism.